PANCASILA
DAN ORMAS ISLAM
(Respon
dan Dinamika di Nahdlatul Ulama)
Makalah Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pancasila
Dosen : Nurrochman, S.Fil.I, M. Hum
Disusun Oleh :
Sella Aandari 15630020
Titis Ratna Djuwita 15630038
Mazlan 15630039
Program
Studi Kimia
Fakultas
Sains dan Teknologi
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN
KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN
2015/2016
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sejak
awal kelahirannya, Pancasila dimaksudkan sebagai dasar negara yang
mampu mengikat semua elemen bangsa yang
terdiri dari berbagai macam unsur budaya, etnis dan agama untuk mendirikan
suatu negara persatuan dan kesatuan yang bedaulat. Dalam
perjalanannya sebagai dasar negara, Pancasila ternyata mengundang
banyak perdebatan berkepanjangan bahkan sampai menimbulkan pemberontakan secara fisik
yang tentu saja memakan korban yang tidak bisa dikatakan sedikit.
Di
tengah gencarnya arus pemikiran dan perjuangan tentang perlunya Syariat Islam
sebagai dasar negara, ada beberapa Ormas keagamaan yang cukup besar justru
tidak mendukung, bahkan menolak Syariat Islam sebagai dasar negara. Salah satu
diantara ormas Islam yang
menolak itu adalah Nahdlatul Ulama. Sebagai
bagian dari komunitas Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama tidak
termasuk organisasi yang mendukung gagasan tentang formalisai
syariat Islam. NU sebagai Jam`iyah justru menolak gagasan tersebut.
NU sejak dulu hingga sekarang tidak menginginkan berdirinya negara
Islam di Indonesia.
Sebagaimana
yang diutarakan oleh KH.Musthofa Bishri yang mengutip dari LSI, NU mempunyai
anggota sekitar enam puluh juta orang. Sebagai sebuah
Organisai sosial keagamaan yang mempunyai
jutaan anggota, ratusan kiyai, ribuan Pesantren dan Santri yang juga sangat kental
dengan urusan – urusan keagamaan, sebenarnya NU mempunyai daya kekuatan penekan
yang cukup signifikan untuk memperjuangkan berdirinya negara Islam
di Indonesia atau syariah sebagai hukum Positif di Indonesia. Namun
hal itu tidak dilakukan Oleh NU.
1.2 Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini, antara lain :
1.
Untuk mengetahui peran
NU dalam membentuk dasar negara
2.
Untuk mengetahui upaya
NU menjaga keutuhan negara kesatuan republik indonesia
3.
Untuk mengetahui peran
NU dalam memperjuangkan dan mempertahankan keutuhan NKRI
4.
Untuk mengetahui pandangan NU terhadap Pancasila dan NKRI
1.3 Rumusan
Masalah
Adapun
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.
Peran NU dalam
membentuk dasar negara?
2.
Bagaimana upaya
NU menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia?
3.
Bagaimana peran NU
dalam memperjuangkan dan mempertahankan keutuhan NKRI?
4.
Bagaimana pandangan NU terhadap Pancasila dan NKRI?
1.4
Metode
Penelitian
Untuk mendapatkan data
dan informasi dalam makalah, penulis menggunakan metode studi kepustakaan atau
studi pustaka. Selain itu, penulis juga mencari informasi dari sumber-sumber di
media massa elektronik yang berjangkauan internasional yaitu internet.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Peran NU dalam
Membentuk Dasar Negara
Perjuangan umat Islam Indonesia untuk menolak penjajahan
dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari tangan penjajah telah berlangsung
sejak lama. Begitu pula ketika perjuangan merebut kemerdekaan sudah mendekati
keberhasilannya. Umat Islam memberikan saham yang sangat besar dalam
mempersiapkan lahirnya Negara Indonesia merdeka, yaitu melalui para
pemimpinnya, umat Islam ikut menentukan wujud, asas dan hukum negara yang akan
lahir itu.
Untuk mematangkan persiapan Indonesia menyambut
kemerdekaannya, pada tanggal 29 April 1945 dibentuklah Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia,
BPUPKI) yang anggotanya berjumlah 62 orang dan diketuai oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta sebagai wakilnya, juga di dalamnya KH. Abdul Wahid Hasyim
sebagai anggota.
Selanjutnya, KH. Abdul Wahid Hasyim terlibat aktif
dalam perumusan konstitusi dan dasar negara bersama tokoh lain, yaitu :
Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, Abikoesno
Tjokrosoejoso, H. Agus Salim, A.A. Maramis, dan Abdul Kahar Muzakkir yang
disebut Panitia Sembilan. Mereka membubuhkan tanda tangannya pada Piagam
Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Piagam Jakarta sendiri merupakan kesepakatan awal
antara golongan Islam dengan golongan nasionalis dalam hal perumusan
Undang-Undang Dasar. Kesepakatan itu termaktub dalam suatu naskah yang akan
dijadikan sebagai preambul atau pembukaan Undang-Undang Dasar. Dalam
naskah pembukaan itulah disebutkan bahwa
Pancasila menjadi dasar negara Indonesia.
Bagi Nahdlatul Ulama, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bentuk
final dari sistem kebangsaan dan akan terus dipertahankan kelestariannya, telah
menjadi salah satu bukti bahwa Nahdlatul Ulama memiliki semangat nasionalisme
yang tinggi.
2.2.
Upaya Menjaga Keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Hal yang harus kita tanggulangi dalam rangka
mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah ancaman. Ancaman
adalah setiap upaya dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri
yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah
negara, dan keselamatan segenap bangsa.
Bagaimana agar keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia tetap terjaga? Salah satu caranya adalah kita sebagai warga negara
berpartisipasi dalam upaya menjaga keutuhan wilayah dan bangsa Indonesia. Berpartisipasi
artinya turut serta atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dapat menjaga
keutuhan wilayah dan bangsa Indonesia.
Untuk turut menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia diperlukan sikap-sikap:
1. Cinta
tanah air
Sebagai warga negara Indonesia, kita wajib mempunyai
rasa cinta terhadap tanah air. Cinta tanah air dan bangsa dapat diwujudkan
dalam berbagai hal, antara lain :
a. Menjaga
keamanan wilayah negaranya dari ancaman yang datang dari luar maupun dari dalam
negeri.
b. Menjaga
kelestarian lingkungan dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan.
c. Mengolah
kekayaan alam dengan menjaga ekosistem guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.
d. Rajin
belajar guna menguasai ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin untuk diabdikan
kepada negara.
2. Membina
persatuan dan kesatuan
Pembinaan persatuan dan kesatuan harus dilakukan di
manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa,
dan negara. Tindakan yang menunjukkan usaha membina persatuan dan kesatuan,
antara lain:
a. Menyelenggarakan
kerja sama antar daerah.
b. Menjalin
pergaulan antar suku bangsa.
c. Memberi
bantuan tanpa membedakan suku bangsa atau asal daerah.
d. Ikut
merasakan kesedihan dan penderitaan orang lain, serta tidak mudah marah atau
menyimpan dendam.
e. Menerima
teman tanpa mempertimbangkan perbedaan suku, agama, maupun bahasa dan
kebudayaan
3. Rela
Berkorban
Sikap rela berkorban adalah sikap yang mencerminkan
adanya kesediaan dan keikhlasan memberikan sesuatu yang
dimiliki untuk orang lain, walaupun akan menimbulkan penderitaan bagi diri
sendiri. Dalam pengertian yang lebih sederhana, rela berkorban adalah sikap dan
perilaku yang tindakannya dilakukan dengan ikhlas serta mendahulukan
kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri. Sikap rela berkorban
ditunjukkan dengan cara membiasakan merelakan sebagian kepentingan kita untuk
kepentingan orang lain atau kepentingan bersama. Partisipasi dalam menjaga
keutuhan NKRI dapat dilakukan dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Partisipasi
tenaga
b. Partisipasi
pikiran
2.3.
Peran NU dalam
Memperjuangkan dan Mempertahankan Keutuhan NKRI
Sejak berdiri, Nahdlatul Ulama menegaskan dirinya
sebagai organisasi keagamaan Islam (Jam’iyyah Diniyyah Islamiyah). Nahdlatul
Ulama didirikan untuk meningkatkan mutu pribadi-pribadi muslim yang mampu
menyesuaikan hidup dan kehidupannya dengan ajaran agama Islam serta
mengembangkannya, sehingga terwujudlah peranan agama Islam dan para pemeluknya
sebagai rahmatan lil ‘alamin (sebagai rahmat bagi seluruh alam) sebagaimana
firman Allah SWT :
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
Artinya : Tidaklah
Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam. (QS. Al-Anbiyaa:107)
Sebagai organsasi keagamaan, Nahdlatul Ulama
merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa
berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah), toleransi (tasamuh),
kebersamaan, dan hidup berdampingan antar sesama umat Islam maupun dengan
sesama warga negara yang mempunyai keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama
mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis
NU juga mendorong semua orang untuk berekonomi yang
merupakan perintah Allah SWT dan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan ajaran
dan hukum agama. Berekonomi adalah sarana mutlak untuk memelihara kelangsungan
hidup dan di dalam hidup itulah orang dapat ibadah, berbuat sesuatu untuk
kepentingan agama, bangsa dan negara. Islam mendorong secara tegas supaya para
pemeluknya memiliki harta benda yang berlebih dari kebutuhan pokoknya, sehingga
mampu melaksanakan kewajiban berzakat.
Nahdlatul Ulama tidak melupakan aspek ekonomi dalam
program kerjanya yang permanen, karena seluruh warganya berekonomi dan dalam
berekonomi itu harus ditaati dan diikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
oleh agama.
Dalam Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama pasal 6 huruf d
ditegaskan bahwa di bidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembangunan
ekonomi dengan mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati
hasil-hasil pembangunan dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi
kerakyatan. Dengan demikian, jelas bahwa kesejahteraan umat merupakan masalah
yang menjadi perhatian utama Nahdlatul Ulama dalam kiprahnya di bidang ekonomi.
2.3.1. Peran
Nahdlatul Ulama dalam Bidang Pendidikan
Nahdlatul Ulama memaknai pendidikan tidak
semata-mata sebagai sebuah hak, melainkan juga kunci dalam memasuki kehidupan
baru. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan harmonisasi antara
pemerintah, masyarakat dan keluarga. Ketiganya merupakan komponen pelaksana
pendidikan yang interaktif dan berpotensi untuk melakukan tanggung jawab dan
harmonisasi. Fungsi pendidikan bagi Nahdlatul Ulama adalah, satu, untuk
mencerdaskan manusia dan bangsa sehingga menjadi terhormat dalam pergaulan bangsa
di dunia, dua, untuk memberikan wawasan yang plural sehingga mampu menjadi
penopang pembangunan bangsa.
2.3.2. Peran
Nahdlatul Ulama pada Masa Reformasi
Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya
kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama
untuk melakukan pembenahan diri. Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul
Ulama cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul
Ulama pada masa orde baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas
politiknya. Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan
peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan
ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral
menjelang mundurnya Soeharto. Namun, sikap ini kemudian berubah setelah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk
merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal dengan
Refleksi Reformasi.
2.3.3. Peran
Nahdlatul Ulama Dalam Bidang Politik
Menurut KH. Ahmad Mustofa Bisri, setidaknya ada 3
jenis politik dalam pemahaman Nahdlatul Ulama, yaitu politik kebangsaan,
politik kerakyatan, dan politik kekuasaan. Nahdlatul Ulama sejak berdiri memang
melakukan aktivitas politik, terutama dalam pengertian yang pertama, yakni
politik kebangsaan, karena Nahdlatul Ulama sangat berkepentingan dengan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam sejarah perjalanan
Indonesia, tercatat bahwa Nahdlatul Ulama selalu memperjuangkan keutuhan NKRI. Selain
dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islam-an, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
Nahdlatul Ulama juga didasari oleh nilai-nilai ke-Indonesia-an dan semangat
nasionalisme yang tinggi.
Politik jenis kedua yang dijalankan oleh Nahdlatul
Ulama yaitu politik kerakyatan. Politik kerakyatan bagi Nahdlatul Ulama
sebenarnya adalah perwujudan dari prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang
ditujukan kepada penguasa untuk membela rakyat. Hal itulah yang kemudian
diambil alih oleh generasi muda Nahdlatul Ulama melalui LSM-LSM, ketika melihat
Nahdlatul Ulama secara struktural kurang peduli terhadap permasalahan yang
menyangkut kepentingan rakyat kecil.
Nahdlatul Ulama juga menjalankan politik jenis
ketiga, yaitu politik kekuasaan atau yang lazim disebut politik praktis. Politik
kekuasaan merupakan jenis politik yang paling banyak menarik perhatian orang
Nahdlatul Ulama. Dalam catatan sejarah, terlihat bahwa Nahdlatul Ulama pernah
mendapatkan kesuksesan dalam pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955. Pada
saat itu, dalam waktu persiapan yang relatif pendek, Partai Nahdlatul Ulama
yang baru keluar dari Masyumi dapat menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan
Masyumi yang sangat siap waktu itu. Disusul pada pemilu pertama orde baru pada
tahun 1971, dimana Partai Nahdlatul Ulama menduduki posisi kedua setelah
Golongan Karya. Sejak saat itu banyak tokoh Nahdatul Ulama yang terjun ke dunia
politik praktis. Hal ini membawa dampak negatif pada aktivitas penting
Nahdlatul Ulama lainnya seperti dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, dan
dakwah yang menjadi terbengkalai.
Selanjutnya, dalam merespon perkembangan politik
pada masa reformasi, Nahdlatul Ulama memfasilitasi pendeklarasian sebuah partai
politik. Pendeklarasian partai tersebut bertujuan untuk menyalurkan dan
memproses warga nahdliyin yang ingin berkiprah dalam politik praktis agar
menjadi politisi sejati, yang pada gilirannya menjadi negarawan. Pada sisi
lain, Nahdlatul Ulama memberikan kebebasan pada warganya untuk memasuki partai
politik manapun yang diyakininya dapat menjadikan dirinya sebagai politisi
sejati dan negarawan. Dengan catatan senantiasa mengacu pada etika berpolitik
nahdliyin yang didasarkan pada nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah dan tidak
kehilangan kesetiaan kepada cita-cita dan kepentingan Nahdlatul Ulama
2.4.
Pancasila dan NKRI dalam Pandangan Nahdlatul Ulama
Sebagaimana yang telah tercatat dalam perjalanan sejarah
berdirinya Nahdlatul Ulama` yang dilatar belakangi oleh faktor keagamaan dan
faktor kebangsaan, NU berupaya mempertahankan dan mengembangkan ajaran Islam yang
berhaluan Ahlussunnah Waljamaah di Indonesia. Meskipun demikian NU tidak
mengidealkan bentuk negara Islam Indonesia. Nahdlatul Ulama melalui wakilnya,
KH.Abdul Wahid Hasyim dalam tim sembilan PPKI ikut merumuskan dan memutuskan
Pancasila sebagai dasar negara republik Indonesia.
Bagi NU, Pancasila dipandang bukan sebagai saingan agama
apalagi menggantikan posisi agama, melainkan sebagai falsafah bangsa sedangkan
agama merupakan wahyu yang berasal dari Allah SWT. Nahdlatul Ulama menerima
Pancasila sebagai asas tunggal dan dasar negara bukanlah merupakan akibat dari tekanan
politik dari pihak luar dan sikap oportunis NU dalam melihat realitas politik, tetapi penerimaan yang positif karena Pancasila dinilai
sah berlandaskan dalil-dalil atau pendapat tradisional Islam.
Beberapa hal yang mendasari NU menerima Pancasila sebagai
dasar negara dan asas tunggal adalah karena sikap para Ulama NU yang bersifat
Tasamukh (toleran) dan tawasuth (moderat) yang memandang bahwa
Pancasila diangkat dari nilai adat-istiadat,nilai-nilai budaya
Indonesia,serta nilai-nilai
religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sejak sebelum membentuk negara.
Disamping itu, faktor
kerukunan dan saling menghormati antar komponen dalam negara Indonesia
merupakan hal yang lebih diutamakan dari pada sekedar memaksakan diri membentuk
Indonesia sebagai negara Islam. Pandangan ini sangat relevan dengan kaidah
Ushul Fiqhi yang akrab dalam idiom ”Dar`ul Mafasid muqoddam `ala jalbil
Mashalih” (menghindari
kerusakan/kehancuran lebih diutamakan dari pada memperoleh kebaikan).
Penerimaan NU terhadap Pancasila dan NKRI
tidak bisa dipungkiri sangat berharga bagi
bangsa dan negara Indonesia khususnya terciptanya iklim
persatuan dan kesatuan diantara warga negara. Menurut penulis tidak bisa
dibayangkan jika sekian puluh juta warga NU dan Ulamanya berupaya untuk
menjadikan Islam sebagai dasar negara di Indonesia bersama para komunitas lain
yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara atau mengembalikan Piagam
jakarta ke dalam pembukaan UUD 1945, khususnya di era reformasi yang penuh
dengan keterbukaan sekarang ini. Tentunya hal ini sangat membuat persatuan dan
kesatuan NKRI rawan untuk
terpecah belah sehingga dengan sendirinya sangat merugikan bagi aktifitas
kehidupan masyarakat di setiap sektor kehidupan.
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Menurut
NU, upaya menumbuh kembangkan pemahaman ajaran Islam yang sesuai dengan kondisi
masyarakat merupakan langkah sekaligus sarana yang strategis dalam
mempertemukan keyakinan keagamaan dan wawasan kebangsaan (Nasionalisme). negara
membutuhkan agama sebagai bangunan moral dan etika begitu
juga agama membutuhkan negara sebagai pengawal
untuk menjaga keberlangsungan eksistensi agama.
Nahdlatul
Ulama sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia tidak termasuk organisasi
yang mendukung gagasan tentang formalisasi Syariat Islam sebagai dasar negara.
Dalam
pandangan Nahdlatul ulama`, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara
Republik indonesia bukanlah agama dan tidak dapat menggantikan
agama dan tidak dapat mengganti kedudukan agama.